Just in Time

Just in Time

Sebelum mengetahui konsep-konsep sisem produksi lean, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian sistem produksi lean atau konsepnya itu sendiri.
Jika menurut APICS (American Production and Inventory Control Society), sistem produksi lean adalah sebuah filosofi dalam berproduksi yang mempunyai fokus untuk meminimasi jumlah sumber daya yang dibutuhkan dalam kegiatannya. Dalam hal ini juga termasuk dalam kegiatan identifikasi dan eliminasi kegiatan-kegiatan atau proses yang tidak memberikan nilai tambah serta memaksimalkan kemampuan pekerjanya.

Di dalam sistem produksi lean dikenal dua hal yaitu value dan waste. Value merupakan hal yang dicari oleh konsumen, dan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen itu sendiri. Waste merupakan pemborosan atau segala hal yang tidak diinginkan oleh konsumen. Sebagai contoh, memproduksi sebuah barang seorang konsumen akan memesan sebuah produk dengan spesifikasi tertentu. Setiap proses yang berhubungan langsung untuk mengubah bahan mentah sehingga menjadi produk sesuai dengan spesifikasi adalah sebuah value. Proses-proses yang mendukung seperti transportasi merupakan waste, karena proses tidak memberikan kontribusi terhadap proses perubahan bahan mentah menjadi sebuah produk (Womack & Jones, 2003).

Sistem produksi lean adalah sebuah cara berproduksi yang berfokus terhadap pemanfaatan yang maksimal dari segala sumber daya sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi optimal. Sebuah sistem produksi lean melihat sebuah keuntungan berpengaruh secara langsung dari biaya produksi, dengan biaya produksi yang rendah dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh. Tujuan inilah yang ingin dicapai dari sistem produksi lean.

Waste atau pemborosan terdapat dalam berbagai jenis, berikut merupakan jenis-jenis pemborosan yang ada (Womack & Jones, 2003) :
1. Produksi berlebihan (overproductions)
Produksi yang melebihi permintaan merupakan sebuah waste karena pada akhir periode akan ada sisa produksi yang harus disimpan. Setiap penyimpanan selain membutuhkan tempat juga dibutuhkan biaya untuk merawat barang sehingga kualitasnya tidak menurun oleh karena itu produksi yang berlebihan merupakan sebuah waste.

2. Menunggu(delays)
Keterlambatan proses karena adanya proses menunggu mesin, material, dll.

3. Proses transportasi(transportations)
Setiap proses perpindahan material yang tidak memberikan nilai tambah atau biasa dikenal dengan proses penanganan material(material handling)

4. Proses operasi yang tidak memberikan nilai tambah(processes)
Setiap jenis kegiatan yang tidak berkontribusi terhadap menambah nilai guna sebuah produk. Dengan adanya proses operasi yang tidak memberikan nilai tambah hanya menambahkan total waktu yang dibutuhkan sedangkan nilai tambah sebuah produk tidak bertambah, oleh karena itu disebut sebagai waste.

5. Penyimpanan(inventories)
Setiap penyimpanan bersifat sebagai waste karena dengan adanya penyimpanan hanya membebankan kepada biaya penyimpanan sedangkan selama proses penyimpanan hampir setiap jenis produk tidak memberikan nilai tambah.

6. Pergerakan(motions)
Setiap pergerakan yang tidak perlu merupakan sebuah waste karena hanya berkontribusi terhadap penambahan waktu proses, sedangkan nilai produk tidak bertambah.

7. Produk cacat(defective product)
Produk cacat merupakan sebuah pemborosan karena membutuhkan pekerjaan ulang yang bersifat iteratif dan tidak memberikan nilai tambah produk itu.

Di dalam sistem produksi dikenal dengan sebuah rumah sistem produksi lean. Rumah sistem produksi lean ini merupakan sebuah gambaran mengenai keseluruhan sistem produksi lean. Setiap rumah, syarat utamanya adalah memiliki pondasi yang kuat, dalam hal ini pondasi dari sistem produksi lean adalah stabilitas dan standarisasi. Untuk dapat menopang atap dibutuhkan pilar-pilar, dalam hal ini pilar yang dimaksudkan adalah Just-in-Time(JIT) dan Jidoka.Atap dari rumah ini merupakan tujuan utama dari perusahaan yaitu keinginan pemenuhan keinginan konsumen. Dengan integrasi dari semua hal ini maka sebuah sistem produksi lean dapat dicapai (Dennis, 2007). Berikut merupakan gambaran rumah sistem produksi lean :


Gambar 1 Rumah sistem produksi lean(sumber : (Dennis, 2007))

Stabilitas
Di dalam sistem produksi lean, hal yang  terpenting adalah stabilitas dari proses itu sendiri. Tanpa adanya stabilitas maka sistem produksi lean tidak dapat dicapai karena hasil keluaran yang tidak dapat ditebak.. Seperti yang digambarkan pada gambar II-1, stabilitas merupakan sebuah pondasi utama. Untuk mendapatkan stabilitas dalam proses terdapat dua kunci, yaitu 5S dan total productive maintenance(TPM). 5s merupakan sebuah cara unuk mengatur stasiun kerja dan mendukung komukikasi visual. Dengan adanya komunikasi visual yang baik maka dapat memudahkan pemeriksaan dengan cara melihat apa yang tidak standar. Melakukan 5s dapat mengarahkan kepada TPM (Dennis, 2007). Penjelasan lebih lanjut mengenai 5s akan dijelaskan pada subab selanjutya.
Total productive maintenance atau biasa disebut dengan TPM merupakan sebuah cara untuk menjamin stabilitas dan efektifitas mesin dengan cara merawat mesin . Target dari TPM ini adalah tidak adanya kerusakan mesin (Dennis, 2007)

TPM ini terdapat 3 tahap, tahap-tahap ini merupakan :
a. Tahap 1
Tahap dimana proses perbaikan atau perawatan dilakukan saat terjadinya kerusakan.

b. Tahap 2
Tahap proses perbaikan atau perawatan sudah mulai direncenakan.

c. Tahap 3
Tahap ini merupakan tahap akhir, atau TPM. Tahap ini mencakup proses pencegahan, prediksi perbaikan dan keterlibatan dari setiap pekerjanya.

Dengan menerapkan TPM dan keterlibatan dari setiap pekerjanya dapat menghilangkan hal-hal sebagai berikut :
  • Kerusakan mesin yang dapat menghambat keberlangsungannya sistem produksi
  • Waktu tunggu dalam set-up dan penyesuaian mesin.
  • Mesin bekerja tidak sesuai dengan spesifikasi
  • Cacat produksi 
Standarisasi proses juga merupakan sebuah pondasi dalam rumah sistem produksi lean. Dengan adanya standarisasi proses maka dapat dengan mudah melakukan proses perbaikan (Dennis, 2007). Jika diibaratkan standarisasi proses merupakan sebuah langkah untuk memastikan bahwa perusahaan tidak mundur dan terus melakukan perbaikan.

Standarisasi kerja mencakup 3 elemen, elemen-elemen itu adalah :
1.       Takt time
2.       Urutan proses
3.       In-process stock

Takt time merupakan waktu maksimum dalam melakukan sebuah pengerjaan untuk dapat memastikan bahwa kebutuhan dapat dipenuhi. Pada awalnya kita terlebih dahulu mengetahui waktu kerja yang tersedia setiap harinya. Selanjutnya adalah mengetahui jumlah permintaan hariannya. Dengan mengetahui takt time, dapat diketahui secara cepat kondisi produksi yang ada atau dengan kata lain sebagai tolak ukur mengenai proses yang ada. Namun penetapan takttime hanya diberlakukan untuk setiap jenis produk yang sama jika sebuah perusahaan mempunyai jenis produk yang berbeda-beda maka takttime yang ada juga berbeda-beda.

Urutan kerja diperlukan dalam standarisasi proses sehingga dapat ditentukan cara kerja yang terbaik. Dengan memperhatikan cara kerja dalam melakukan sebuah kegiatan dapat mempermudah dalam proses perbaikian. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam mengurutkan sebuah pekerjaan selain kecepatan proses antara lain adalah keselamatan pekerja dan ergonomi (Dennis, 2007).

In-process stock merupakan jumlah minimum sebuah WIP  yang dibutuhkan sehingga operator tidak perlu melakukan proses menunggu adanya produk WIP. Dalam sebuah kegiatan produksi, jumlah in-process stock harus ditambahkan jika :
a.       Perlu adanya pemeriksaan kualitas
b.       Suhu WIP perlu diturunkan sebelum dapat melanjutkan proses berikutnya
c.       Siklus mesin otomatis


Just In Time atau JIT adalah kegiatan produksi barang yang tepat pada waktu yang tepat serta dalam jumlah yang tepat. Kegiatan apapun yang tidak sesuai dengan prinsip ini merupakan sebuah pemborosan. (Dennis, 2007)
JIT jugamerupakan sebuah teknik yang bertujuan untuk dapat mengubah keadaan internal perusahaan untuk dapat menerima perubahan yang seketika dalam pola permintaan dengan cara memproduksi barang yang benar dengan jumlah yang tepat (Abdullah, 2003). JIT juga merupakan sebuah teknik yang penting dalam menentukan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pihak eksternal seperti pembelian bahan baku, distribusi, dan sebagainya.

Prisip–prinsip dalam JIT ini mulai dikemukan pada sekitar tahun 1950. Prinsip-prinsip JIT ini mengikuti sebuah aturan yang mudah. Aturan-aturan yang dimaksud adalah (Dennis, 2007) :
1.       Jangan memproduksi jika tidak ada permintaan
2.       Membuat tingkatan dalam permintaan, sehingga proses prduksi dapat berjalan dengan mulus
3.       Hubungkan semua proses yang berhubungan dengan gambar yang sederhana.
4.       Memaksimalkan fleksibilitas sumber daya manusia dan mesin-mesin yang ada.

Di dalam JIT terdapat berbagai macam konsep, konsep-konsep itu antara lain aliran yang berkelanjutan, sistem tarik, dan Kanban (Dennis, 2007).
Aliran yang berkelanjutan merupakan sebuah faktor penting dalam menentukan waktu proses. Dengan adanya sistem aliran yang berkelanjutan, maka dapat membuah kecepatan produksi menjadi lebih cepat. Terkadang sebelum dapat melanjutkan proses selanjutnya, sebuah produk diharuskan menunggu terlebih dahulu. Hal ini dapat dikatakan sebuah pemborosan, karena tanpa adanya sebuah runtutan proses yang berkelanjutan dapat menimbulkan sebuah pemborosan yang berupa menunggu (Dennis, 2007).

Sistem tarik merupakan sebuah cara untuk menentukan jumlah yang harus diproduksi dalam setiap periodenya. Keuntungan dari sistem tarik ini adalah dapat mengetahui jumlah bahan baku atau komponen yang harus disediakan. Tanpa adanya sistem tarik ini dapat menyebabkan pemborosan dalam jenis inventory. Karena barang yang harus disediakan hanya bersifat perkiraan, dan bisa saja jumlah komponen yang tersedia melebihi seharusnya sehingga mengharuskan adanya penyimpanan. Hal ini merupakan sebuah pemborosan, karena tidak sesuai dengan konsep JIT itu sendiri (Dennis, 2007).

Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan JIT (Abdullah, 2003) :
a.       Mengurangi WIP yang tidak penting yang berdampak reduksi biaya inventory
b.       Masalah kualitas dapat dengan mudah terdeteksi karena memproduksi dengan jumlah yang pas
c.       Pemborosan pemakaian ruang dapat dikurangi
d.       Mencegah produksi yang berlebih
Abdullah(2003) membagi JIT menjadi ketiga bagian, JIT produksi, JIT Distribusi, dan JIT pembelian.

Berikut merupakan penjelasan mengenai masing-masing JIT :
A.  JIT Produksi
JIT produksi merupakan faktor yang yang paling penting, karena JIT produksi merupakan penerapan teknik di dalam internal perusahaan. Jika sebuah perusahaan ingin menjadi lebih baik sudah tentu harus dimulai dari dalam. JIT produksi biasa dikenal dengan sistem tarik.
Sistem tarik merupakan sebuah upaya untuk memastikan jumlah produksi dengan tepat. Awal mula dari sistem tarik ini adalah memulai dari demand setiap periodenya. Jumlah yang tepat tidak berlaku sebatas produk jadinya saja, melainkan kepada setiap komponen pendukung yang diperlukan. Untuk memastikan proses ini maka dilakukanlah sebuah teknik yang biasa disebut kanban.
Kanban merupakan sebuah cara pengaturan atau komunikasi antar divisi sehingga tidak memungkinkan adanya jumlah yang berlebih yang nantinya akan menjadi sebuah pemborosan. Jenis-jenis kanban yang sering digunakan adalah kanban penarikan(withdrawal kanban) dan kanban produksi(production kanban). Dengan adanya sistem kanban dapat memudahkan operator material handling dalam proses meletakkan dan mengetahui proses lanjutan dari masing-masing komponen.

B. JIT Distribusi
JIT distribusi merupakan penghubung antara perusahaan dengan pihak distributor. Konsep dari JIT distribusi ini adalah mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga untuk memastikan bahwa barang yang dikirim kepada konsumen ataupun pengiriman dari pemasok yang tepat waktu.  Dengan adanya perjanjian dengan pihak ketiga maka dapat lebih memaksimalkan fungsi JIT.
JIT distribusi meyakinkan bahwa barang yang sudah diproduksi dapat mencapai ke tangan konsumen. Terkadang perusahaan memproduksi barang dalam jumlah besar terlebih dahulu baru melakukan proses distribusi. Hal ini bertentangan dengan konsep JIT, karena adana barang yang mengalami proses penyimpanan. Dengan adanya aplikasi JIT distibusi, maka kesempurnaan penerapan JIT dapat semakin diterapkan.

C. JIT Pembelian
JIT pembelian merupakan sebuah konsep untuk memastikan bahwa bahan baku tersedia pada waktu yang dibutuhkan. JIT pembelian lebih mempunyai peran untuk membina hubungan yang baik dengan pihak pemasok. Hubungan ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa kualitas bahan baku yang diperoleh mempunyai kualitas yang baik. Pekerjaan inspeksi bahan baku merupakan sebuah pemborosan karena hal ini dapat dicegah jika menggunakan pemasok yang sudah dipercaya.

Jidoka
Jidoka merupakan sebuah konsep yang ditemukan pertama kali oleh Sakichi Toyoda dan dikembangkan secara lebih lanjut oleh Shingeo Shingo.Jidoka merupakan sebuah langkah penting jika ingin mendapatkan kualitas terbaik dengan biaya terendah, serta waktu yang paling cepat. Konsep Jidoka merupakan sebuah prinsip dalam manajemen untuk meyakinkan bahwa proses yang dilakukan tidak menghasilkan produk cacat (Dennis, 2007).

Alasan utama Jidoka merupakan sebuah hal yang penting dikarenakan, dengan penggunaan Jidoka dalam perusahaan dapat mengurangi tingkat cacat yang ada di dalam perusahaan. Dengan tingginya tingkat produk cacat yang dihasilkan dapat mengakibatkan lini produksi terhenti dan aliran sistem tarik dapat berhenti. Selain itu, sistem Kanban dapat rusak jika tejadinya pengiriman komponen yang cacat. (Dennis, 2007)

Didalam Jidoka dikenal sebuah cara untuk menjamin tidak adanya produk cacat yang dihasilkan. Cara yang dimaksud ini adalah Poka-yoke. Secara harafiah, Poka-yoke mempunyai arti pencegah kesalahan. Terkadang dalam sebuah proses operasi, sering terjadinya kesalahan-kesalahan yang dapat menyebabkan cacat pada produksi. Penyebab dari kesalahan-kesalahan ini adalah sebuah proses yang tidak sesuai dengan standar (Dennis, 2007).

Untuk dapat meyakinkan bahwa poka-yoke dapat terjadi di dalam sebuah perusahaan adalah :
a.       Mudah, dan membutuhkan perawatan yang minim
b.       Mempunyai realibilitas yang tinggi
c.       Murah
d.       Didesain sesuai dengan kondisi kerja.

Toyota Production Syste(TPS)  merupakan sebuah dasar dari berbagai gerakan yang ada di dalam sistem produksi lean yang sudah menjadi topik yang sudah tidak asing lagi di dalam 10 tahun terakhir ini. Di dalam prakteknya, penggunaan sistem produksi ini hanya bersifat parsial atau penggunaan sebatas teknik-tekniknya seperti 5s, JIT, dan sebagainya. Seharusnya dalam penerepannya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai sistem produksi lean itu sendiri sebagai sebuah sistem yang terintegrasi (Liker, 2006).

Sistem produksi Toyota adalah sebuah cara berproduksi yang berfokus untuk mendapatkan keuntungan dengan cara memaksimalkan setiap sumber daya yang ada sehingga biaya produksi menjadi paling rendah. Untuk dapat memperoleh keuntungan yang maksimal, maka tujuan utama dari sistem produksi adalah reduksi dari biaya produksi dan peningkatan produktivitas. Konsep dalam reduksi biaya produksi ini masih bersifat luas, oleh karena itu biaya yang dimaksud ini tidak hanya biaya yang berhubungan langsung dengan produksi melainkan kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait seperti biaya penjualan dan biaya administrasi (Monden, 1993).

Taichi Ohno, pencipta TPS menjelaskan secara singkat mengenai sistem produksi Toyota seperti :
“segala yang kami lakukan hanyalah mengamati garis waktu sejak pelanggan memberikan pesanannya hingga saat kami mengumpulkan uang tunai. Dan kami mengurangi garis waktu tersebut dengan menyingkirkan pemborosan yang tidak member nilai tambah” (Ohno 1988)

Terkadang filosofi-filosofi yang berada di dalam sistem produksi Toyota sulit dimengerti jika kita sendiri tidak melakukan proses pengamatan secara langsung. Jika kita sendiri yang mengalami pengamatan secara langsung, kita akan sering melihat bahwa sering adanya proses-proses yang tidak memberikan nilai tambah. Sebagai contoh banyaknya bahan baku yang hanya menumpuk dan menunggu untuk diproses. Dengan tidak adanya proses pengamatan secara langsung kita tidak akan mengetahui pemborosan-pemborosan yang ada di dalam kegiatan produksinya sendiri (Liker, 2006).

TPS sebenernya tidak memiliki perbedaan dengan sistem produksi lean melainkan hanya perbedaan nama semata. Sistem produksi lean merupakan sebuah nama yang diciptakan oleh pihak barat sedangkan TPS penamaan yang diciptakan oleh orang jepang.

Sebuah sistem produksi lean dapat diibararkan sebagai sebuah gerobak yang mempunyai empat buah roda. Masing-masing roda merepresentasikan sebuah faktor penting dalam menjalankan usaha dengan sebuah tuas yang melambangkan visi perusahaan itu sendiri (Connor, 2004).

Faktor-faktor yang disebutkan adalah :
1.        Penjualan, produksi, dan manajemen inventory (sales,production and inventory management)
2.       Kultur perusahaan (total organizational buy-in)
3.       Manajemen kualitas (total quality management)
4.       Teknik-teknik sistem produksi lean (lean manufacturing techniques)

Gambar 2. gerobak lean(sumber: (Connor, 2004))

Di dalam sebuah perusahaan, hal yang utama bukanlah memiliki salah faktor yang bernilai sempurna. Nilai sempurna yang tidak diikuti dengan nilai kesetaraan dengan faktor lainnya justru dapat menghambat keberjalanan perusahaan. Jika sebuah gerobak mempunyai satu roda yang lebih besar dari yang lainnya hanya dapat menghambat laju gerobak tersebut.
Sebuah faktor yang diibaratkan sebagai roda merupakan sekumpulan dari berbagai macam teknik. Teknik-teknik ini merupakan yang menggambarkan bentuk lingkaran yang ada pada roda. Jika teknik-teknik yang digunakan tidak tingkat yang sama dapat mengakibatkan bentuk roda menjadi tidak bundar.

Penjualan, produksi, dan manajemen inventory(sales,production and inventory management)
Tujuan dari faktor ini adalah mengetahui tingkat penggunaan teknik-teknik dalam perencanaan dan pengendalian produksi. Dalam perusahaan, kemampuan untuk merencanakan dan pengendalian produksi adalah suatu hal yang penting, tanpa didukung perencanaan yang baik maka kegiatan produksi dapat menjadi tidak terkendali.

Teknik-teknik yang terdapat dalam faktor ini adalah :
a.       PQR analysis
b.       Forecasting
c.       Production smoothing
d.       Kanban
e.       Supermarket
f.        Visual pull signal
g.       Capacity planning
h.       Standard WIP
i.         Inventory Turns
j.         Product information
k.       Delivery performance
Connor(2004) tidak menjelaskan mengenai  teknik-teknik diatas sehingga kurang didapatkan secara jelas mengenai masing-masing penggunaannya.

Kultur perusahaan(total organizational buy-in)
Kultur perusahaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam keberlangsungan perusahaan. Sumber daya yang ada di dalam perusahaan tidak dapat digunakan secara maksimal tanpa dukungan kultur perusahaan yang baik (Connor, 2004).

Teknik-teknik yang termasuk dalam faktor penilaian kultur perusahaan adalah :
a.       Visi(Vision)
b.       Rencana kerja(Action plan)
c.       Kebijakan pembagian kerja(Policy deployment)
d.       Hak berpendapat(Enfranchisement)
e.       Pendapatan berbasis kinerja(Performance-based pay)
f.        Pelatihan(Skills training)
g.       Kultur perbaikan berkelanjutan(Countinuous improvement culture)
h.       Kaizen promotion office
i.         Moral(Morale)
j.         Komunikasi(Communications)
k.       Pelatihan lean (Lean training)
l.         Manajemen perubahan(Change management)
-        Keselamatan kerja
n.       Keuntungan(Profitability)
o.       Peningkatan kekompakan kelompk(Team building)
p.       Kepemimpinan yang efektif(Effective leadership)

Roda yang ketiga adalah manajemen kualitas di dalam perusahaan. Sebuah perusahaan manufaktur tanpa didukung pengendalian kualitas yang baik maka dapat dipastikan tidak dapat berkembang. Cara dalam mengendalikan kualitas dapat berbagai macam cara seperti ISO 9000 atau dengan pendekatan six sigma tidak memiliki perbedaan asalkan tetap memenuhi konsep “doing it right the first time (Connor, 2004). Cara-cara yang dikemukan adalah sebagai berikut :
a.       Statistical Process Control
b.       Cara terbaik(best practices)
c.       Poka-yoke
d.       Reduksi pemborosan(waste reduction)
e.       5S
f.        Struktur ISO 9000(ISO 9000 structure)
g.       Jaminan kualitas(quality assurance)
h.       Teknik menyelesaikan masalah(problem-solving tools)
i.         Kualitas pemasok(supplier quality)
j.         Aliran informasi(informationflow)
k.       Kualitas produk pertama(first pass qualitu)
l.         Pencegahan dibandingkan dengan pencegahan(prevention versus detection)


Teknik-teknik sistem produksi lean(lean manufacturing techniques)
Di dalam sistem produksi lean terdapat banyak teknik-teknik yang dapat meningkatkan produktivtas perusahaan dari berbagai macam aspek. Namun di dalam sistem produksi lean tidaklah penting menggunakan semua teknik yang ada, yang terpenting adalah penggunakan tools yang tepat di waktu yang tepat. (Connor, 2004).

Di dalam bukunya dipaparkan teknik-teknik sebagai berikut :
a.       Value Stream Mapping
b.       Takt time
c.       One piece flow
d.       Sistem tarik(pull system)
e.       Single minute exchange of die(SMED)
f.        Overall equipment effectiveness(OEE)
g.       Produktivitas(productivity)
h.       Tata letak fasilitas(facility layout)
i.         Standarisasi kerja(standard work)
j.         Jidoka
k.       Relibilitas mesin(machine reliability)
l.         Total productive maintenance(TPM)

m.     Rasio aktivitas bernilai tambah(value added ratio)
n.       Keseimbangan lini produksi(line balancing)
o.       Reduksi penanganan(handling reduction)
p.       Peralatan dengan ukuran yang tepat(right sized equipment)

Manfaat penerapan sistem produksi lean
Dengan menerapkan konsep-konsep sistem produksi lean di dalam sebuah perusahaan dapat meningkatkan produktivitas suatu perusahaan bahkan secara siginifikan(2-4 kali bergantung terhadap aktivitasnya) (Womack & Jones, 2003).

Manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan sistem produksi lean adalah :
a.       Mengurangi manufacturing lead time(MLT)
b.       Mereduksi work in process(WIP)
c.       Mengurangi pemborosan
d.       Meningkatkan pengiriman tepat waktu
e.       Mengurangi kebutuhan sumber daya
f.        Memudahkan dalam proses identifikasi masalah
g.       Meningkatkan fleksibilitas produksi perusahaan.



Referensi:
Tulisan di atas didasarkan pada:
Soetama, B. B. (2012). Tantangan Penerapan Lean Manufacturing, Penelitian yang tidak dipublikasikan, Institut Teknologi Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Alat Bantu Quality Control

One-piece flow

Sistem kanban di Toyota